Posted by : Unknown Selasa, 08 Oktober 2013


Kata Pengantar
Perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme Barat sebagai reaksi terhadap pengaruh kolonialisme dan imperialisme yang sangat merugikan baik dari segi politik, ideologi, sosial, ekonomi maupun budaya di Indonesia, dapat dikelompokkan dalam dua periode besar menurut kontek waktu.
Pertama, perlawanan terhadap para pedagang Barat yang berpolitik, seperti para pedagang Portugis, VOC dan EIC yang terjadi sepanjang abad ke –16 sampai akhir abad ke –18.  Kedua, perlawanan terhadap pemerintahan Hindia-Belanda sejak abad ke –19.
Perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme ini dilakukan oleh pihak kerajaan, elit lokal dan rakyat dengan motif dan bentuk gerakan yang berbeda. Satu hal yang pasti, perlawanan ini muncul seiring dengan perluasan kolonialisme dan imperialisme Barat di berbagai wilayah di Indonesia.



A. PERIODE SEBELUM ABAD KE -18

1.       Dipati Unus   (1518 – 1521)
Hanya kurang lebih satu tahun setelah kedatangan Portugis di Malaka (1511), perlawanan terhadap dominasi Barat mulai muncul. Jatuhnya Malaka ke pihak Portugis sangat merugikan jaringan perdagangan para pedagang Islam dari Kepulauan Indonesia. Solidaritas sesama pedagang Islam terbangun saat Malaka jatuh ke pihak Portugis. Kerajaan Aceh, Palembang, Banten, Johor, dan Demak bersekutu untuk menghadapi Portugis di Malaka.
Pada tahun 1513, Demak mengadakan penyerangan terhadap Portugis di Malaka. Penyerangan tersebut dipimpin oleh Adipati Unus, putra Raden Patah. Namun karena faktor jarak yang begitu jauh dan peralatan perang yang kurang seimbang serta strategi perang kurang jitu, penyerangan tidak berhasil.
2.       Panglima Fatahillah (1527 – 1570)
Dalam rangka memperluas ekspansinya ke daerah Barat, Demak mengirim Fatahillah untuk menggagalkan rencana kerja sama antara Portugis dan Pajajaran. Pada tahun 1527, Fatahillah mengadakan penyerangan terhadap Portugis di Sunda Kelapa. Serangan tersebut berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Selanjutnya pada tanggal 22 Juni 1527 nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta atau Jakarta yang berarti kemenangan yang sempurna. Fatahillah diangkat oleh Sultan Trenggono sebagai wakil Sultan Demak yang memerintah di Banten dan Jayakarta.
3.       Sultan Baabullah (1570 – 1583)
Raja Ternate yang sangat gigih melawan Portugis adalah Sultan Hairun yang bersifat sangat anti-Portugis. Beliau dengan tegas menentang usaha Portugis untuk melakukan monopoli perdagangan di Ternate. Rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Hairun melakukan perlawanan. Rakyat menyerang dan membakar benteng-benteng Portugis. Portugis kewalahan menghadapi perlawanan tersebut.
Dengan kekuatan yang lemah, tentu saja Portugis tidak mampu menghadapi perlawanan. Oleh karena itu, pada tahun 1570 dengan licik Portugis menawarkan tipu perdamaian. Sehari setelah sumpah ditandatangani, de Mosquito mengundang Sultan Hairun untuk menghadiri pesta perdamaian di benteng. Tanpa curiga Sultan Hairun hadir, dan kemudian dibunuh oleh kaki tangan Portugis.
Peristiwa ini menimbulkan kemarahan besar bagi rakyat Maluku dan terutama Sultan Baabullah, anak Sultan Hairun. Bersama rakyat, Sultan Baabullah bertekad menggempur Portugis. Pasukan Sultan Baabullah memusatkan penyerangan untuk mengepung benteng Portugis di Ternate. Lima tahun lamanya Portugis mampu bertahan di dalam benteng yang akhirnya menyerah pada tahun 1575 karena kehabisan bekal. Kemudian Portugis melarikan diri ke Timor Timur.
4.       Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636)
Penyerangan Aceh terhadap Portugis di Malaka pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah. Untuk itu, Sultan Alaudin Riayat Syah mengirim utusan ke Konstantinopel (Turki) untuk meminta bantuan militer dan permintaan khusus  mengenai pengiriman meriam-meriam, pembuatan senjata api, dan penembak-penembak. Selain itu, Aceh juga meminta bantuan dari Kalikut dan Jepara.
Dengan semua bantuan dari Turki maupun kerajaan-kerajaan lainnya, Aceh mengadakan penyerangan terhadap Portugis di Malaka pada tahun 1568. Namun penyerangan tersebut mengalami kegagalan. Meskipun demikian, Sultan Alaudin telah menunjukkan ketangguhan sebagai kekuatan militer yang disegani dan diperhitungkan di kawasan Selat Malaka.
Penyerangan terhadap Portugis dilakukan kembali pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah. Pada tahun 1629, Aceh menggempur Portugis di Malaka dengan sejumlah kapal yang memuat 19.000 prajurit. Pertempuran sengit tak terelakkan yang kemudian berakhir dengan kekalahan di pihak Aceh.
5.       Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613 – 1645)
Raja Mataram yang terkenal adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo. Beliau di samping cakap sebagai raja juga fasih dalam hal seni budaya, ekonomi, sosial, dan perpolitikan. Beliau berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa seperti Gresik (1613), Tuban (1616), Madura (1624), dan Surabaya (1625). Setelah berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Sultan Agung mengalihkan perhatiannya pada VOC (Kompeni) di Batavia. VOC di bawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen berusaha mendirikan benteng untuk memperkuat monopolinya di Jawa. Niat VOC (kompeni) tersebut membuat marah Sultan Agung sehingga mengakibatkan Mataram sering bersitegang dengan VOC (kompeni).
Sultan Agung menyadari bahwa kompeni Belanda tidak dapat dipercaya. Oleh karena itu pada tanggal 22 Agustus 1628 Sultan Agung memerintahkan penyerangan pasukan Mataram ke Batavia. Pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Baurekso dan Dipati Ukur. Kemudian tahun 1629, Mataram kembali menyerang VOC di Batavia di bawah pimpinan Suro Agul-Agul, Kyai Adipati Mandurareja, dan Dipati Upasanta. Meskipun tidak berhasil mengusir VOC dari Batavia, Sultan Agung sudah menunjukkan semangat anti penjajahan asing khususnya kompeni Belanda.   
6.       Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1683)
Sultan Ageng merupakan musuh VOC yang tangguh. Pihak VOC ingin mendapatkan monopoli lada di Banten. Pada tahun 1656 pecah perang. Banten menyerang daerah-daerah Batavia dan kapal-kapal VOC, sedangkan VOC memblokade pelabuhan. Pada tahun 1659 tercapai suatu penyelesaian damai. VOC mencari siasat memecah belah dengan memanfaatkan konflik internal dalam keluarga Kerajaan Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putranya yang bergelar Sultan Haji (1682 – 1687) sebagai raja di Banten. Sultan Ageng dan Sultan Haji berlainan sifatnya. Sultan Ageng bersifat sangat keras dan anti-VOC sedang Sultan Haji lemah dan tunduk pada VOC. Maka ketika Sultan Haji menjalin hubungan dengan VOC, Sultan Ageng menentang dan langsung menurunkan Sultan Haji dari tahtanya. Namun, Sultan Haji menolak untuk turun dari tahta kerajaan.             
Untuk mendapatkan tahtanya kembali, Sultan Haji meminta bantuan pada VOC. Pada tanggal 27 Februari 1682 pasukan Sultan Ageng menyerbu Istana Surosowan di mana Sultan Haji bersemayam. Namun mengalami kegagalan karena persenjataan Sultan Haji yang dibantu VOC lebih lengkap. Tahun 1683 Sultan Ageng berhasil ditangkap, dan Sultan Haji kembali menduduki tahta Banten. Meskipun Sultan Ageng telah ditangkap, perlawanan terus berlanjut di bawah pimpinan Ratu Bagus Boang dan Kyai Tapa.
Sultan Agung menyadari bahwa kompeni Belanda tidak dapat dipercaya. Oleh karena itu pada tanggal 22 Agustus 1628 Sultan Agung memerintahkan penyerangan pasukan Mataram ke Batavia. Pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Baurekso dan Dipati Ukur. Kemudian tahun 1629, Mataram kembali menyerang VOC di Batavia di bawah pimpinan Suro Agul-Agul, Kyai Adipati Mandurareja, dan Dipati Upasanta. Meskipun tidak berhasil mengusir VOC dari Batavia, Sultan Agung sudah menunjukkan semangat anti penjajahan asing khususnya kompeni Belanda.
7.       Sultan Hasanuddin (1654 – 1669)
Perdagangan di Makassar mencapai perkembangan pesat pada masa pemerintahan Sultan
Hasanuddin. Banyak pedagang dari berbagai Negara seperti Cina, Jepang, Sailan, Gujarat, Belanda, Inggris, dan Denmark yang berdagang di Bandar Sambaopu. Bahkan untuk mengatur perdagangan, dikeluarkanlah hukum pelayaran dan perdagangan Ade Allopilloping Bacanna Pabalue.
Ketika VOC datang ke Maluku untuk mencari rempah-rempah, Makassar juga dijadikan daerah sasaran untuk dikuasai. VOC melihat Makassar sebagai daerah yang menguntungkan karena pelabuhannya ramai dikunjungi pedagang dan harga rempah-rempah sangat murah. VOC ingin menerapkan monopoli perdagangan namun ditentang oleh Sultan Hasanuddin.
Pada bulan Desember 1666, armada VOC dengan kekuatan 21 kapal yang dilengkapi meriam, mengangkut 600 tentara yang dipimpin Cornelis Speelman tiba dan menyerang Makassar dari laut. Arung Palaka dan orang-orang suku Bugis rival suku Makassar membantu VOC menyerang melalui daratan. Akhirnya VOC dengan sekutu-sekutu Bugisnya keluar sebagai pemenang. Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang berisi:
1) Sultan Hasanuddin memberi kebebasan kepada VOC melaksanakan perdagangan,
2) VOC memegang monopoli perdagangan di Sombaopu,
3) Benteng Makassar di Ujungpandang diserahkan pada VOC,
4) Bone dan kerajaan-kerajaan Bugis lainnya terbebas dari kekuasaan Gowa.     
Sultan Hasanuddin tetap gigih, masih mengobarkan pertempuran-pertempuran. Serangan besar-besaran terjadi pada bulan April 1668 sampai Juni 1669, namun mengalami kekalahan. Akhirnya Sultan tak berdaya, namun semangat juangnya menentang VOC masih dilanjutkan oleh orang-orang Makassar. Karena keberaniannya itu, Belanda memberi julukan Ayam Jantan dari Timur kepada Sultan Hasanuddin.

B.    Periode Sesudah Abad Ke-18

1.       Perang Paderi (1803 – 1838)
Peristiwa ini berawal dari gerakan Paderi untuk memurnikan ajaran Islam di wilayah Minangkabau, Sumatra Barat. Perang ini dikenal dengan nama Perang Paderi karena merupakan perang antara kaum Paderi/kaum putih/golongan agama melawan kaum hitam/kaum Adat dan Belanda. Tokoh-tokoh pendukung kaum Paderi adalah Tuanku Nan Renceh, Tuanku Kota Tua, Tuanku Mensiangan, Tuanku Pasaman, Tuanku Tambusi, dan Tuanku Imam. Jalannya Perang Paderi dapat dibagi menjadi 3 tahapan, berikut.
1 ) Tahap I, tahun 1803 – 1821
Ciri perang tahap pertama ini adalah murni perang saudara dan belum ada campur tangan pihak luar, dalam hal ini Belanda. Perang ini mengalami perkembangan baru saat kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda. Sejak itu dimulailah Perang Paderi melawan Belanda.
2 ) Tahap II, tahun 1822 – 1832
Tahap ini ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan kaum Paderi yang makin melemah. Pada tahun 1825, berhubung dengan adanya perlawanan Diponegoro di Jawa, pemerintah Hindia Belanda dihadapkan pada kesulitan baru. Kekuatan militer Belanda terbatas, dan harus menghadapi dua perlawanan besar yaitu perlawanan kaum Paderi dan perlawanan Diponegoro.
Oleh karena itu, Belanda mengadakan perjanjian perdamaian dengan Kaum Paderi. Perjanjian tersebut adalah Perjanjian Masang (1825) yang berisi masalah gencatan senjata di antara kedua belah pihak. Setelah Perang Diponegoro selesai, Belanda kembali menggempur kaum Paderi di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ellout tahun 1831. Kemudian, disusul juga oleh pasukan yang dipimpin Mayor Michiels.
3         ) Tahap III, tahun 1832 – 1838
Perang pada tahap ini adalah perang semesta rakyat Minangkabau mengusir Belanda. Sejak tahun 1831 kaum Adat dan kaum Paderi bersatu melawan Belanda yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Pada tanggal 16 Agustus 1837 jam 8 pagi, Bonjol secara keseluruhan diduduki Belanda. Tuanku Imam mengungsi ke Marapak. Pertempuran itu berakhir dengan penangkapan Tuanku Imam, yang langsung dibawa ke Padang. Selanjutnya atas perintah Letkol Michiels, Tuanku Imam diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat pada tahun 1838. Kemudian pada tahun 1839 dipindah ke Ambon. Tiga tahun kemudian dipindah ke Manado sampai meninggal pada tanggal 6 November 1964 pada usia 92 tahun.
2.       Perang Maluku (1817)
Ketika Belanda kembali berkuasa pada tahun 1817, monopoli diberlakukan lagi. Diberlakukan lagi system ekonomi uang kertas yang sangat dibenci dan keluar perintah sistem kerja paksa (rodi). Belanda tampaknya juga tidak mau menyokong dan memerhatikan keberadaan gereja Protestan dan pengelolaan sekolah-sekolah protestan secara layak. Inilah penyebab utama meletusnya Perang Maluku yang dipimpin Kapitan Pattimura.
Pada tanggal 15 Mei 1817, pasukan Pattimura mengadakan penyerbuan ke Benteng Duurstede. Dalam penyerangan tersebut, Benteng Duurstede dapat diduduki oleh pasukan Pattimura bahkan residen van den Berg beserta keluarganya tewas. Tentara Belanda yang tersisa dalam benteng tersebut menyerahkan diri. Dalam penyerbuan itu, Pattimura dibantu oleh Anthonie Rheebok, Christina Martha Tiahahu, Philip Latumahina, dan Kapitan Said Printah.
Berkat siasat Belanda yang berhasil membujuk Raja Booi, pada tanggal 11 November 1817, Thomas Matulessy atau yang akrab dikenal dengan gelar Kapitan Pattimura berhasil ditangkap di perbatasan hutan Booi dan Haria. Akhirnya vonis hukuman gantung dijatuhkan kepada empat pemimpin, yaitu Thomas Matullessy atau Kapitan Pattimura, Anthonie Rheebok, Said Printah, dan Philip Latumahina. Eksekusi hukuman gantung sampai mati dilaksanakan pada pukul 07.00 tanggal 10 Desember 1817 disaksikan rakyat Ambon.

3.       Perang Bone (1824)
Pada tahun 1824, Gubernur Jenderal van der Capellen membujuk kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan untuk memperbarui Perjanjian Bongaya, tetapi Bone bersikeras menolaknya. Setelah van der Capellen pergi meninggalkan Bone, Ratu Bone memimpin kerajaan-kerajaan Bugis melancarkan perang. Mereka merebut wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda dan berhasil membantai dua garnisun Belanda. Tentunya pihak Belanda tidak tinggal diam, segera melancarkan serangan balasan.
Pada tahun 1825, pasukan Belanda berhasil memukul pasukan Bone. Penaklukan yang terakhir dan menentukan kekalahan Bone, baru terjadi pada tahun 1908. Bone harus menandatangani Perjanjian Pendek atau plakat pendek (Korte Verklaring).

4.       Perang Diponegoro (1825 – 1830)
Pada saat sebelum Perang Diponegoro meletus, terjadi kekalutan di Istana Yogyakarta. Ketegangan mulai timbul ketika Sultan Hamengku Buwono II memecat dan menggeser pegawai istana dan bupati-bupati yang dahulu dipilih oleh Sultan Hamengku Buwono I.
Kekacauan dalam istana semakin besar ketika mulai ada campur tangan Belanda. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Belanda menimbulkan kebencian rakyat. Kondisi ini memuncak menjadi perlawanan menentang Belanda. Berikut ini sebab-sebab umum perlawanan Diponegoro.
1.         Kekuasaan Raja Mataram semakin lemah, wilayahnya dipecah-pecah.
2.         Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan dan pengangkatan raja pengganti.
3.         Kaum bangsawan sangat dirugikan karena sebagian besar sumber penghasilannya diambil alih oleh Belanda. Mereka dilarang menyewakan tanah bahkan diambil alih haknya.      
4.         Adat istiadat keraton menjadi rusak dan kehidupan beragama menjadi merosot.
5.         Penderitaan rakyat yang berkepanjangan sebagai akibat dari berbagai macam pajak, seperti pajak hasil bumi, pajak jembatan, pajak jalan, pajak pasar, pajak ternak, pajak dagangan, pajak kepala, dan pajak tanah.
Hal yang menjadi sebab utama perlawanan Pangeran Diponegoro adalah adanya rencana
pembuatan jalan yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Dalam perang tersebut, Pangeran Diponegoro mendapatkan dukungan dari rakyat Tegalrejo, dan dibantu Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, dan Pangeran Dipokusumo. Pada tanggal 20 Juli 1825, Belanda bersama Patih Danurejo IV mengadakan serangan ke Tegalrejo. Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya menyingkir ke Selarong, sebuah perbukitan di Selatan Yogyakarta. Selarong dijadikan markas untuk menyusun kekuatan dan strategi penyerangan secara gerilya. Agar tidak mudah diketahui oleh pihak Belanda, tempat markas berpindah-pindah, dari Selarong ke Plered kemudian ke Dekso dan ke Pengasih. Perang Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Berbagai upaya untuk mematahkan perlawanan Pangeran Diponegoro telah dilakukan Belanda, namun masih gagal. Siasat Benteng stelsel (sistem Benteng) yang banyak menguras biaya diterapkan juga. Namun sistem benteng ini juga kurang efektif untuk mematahkan perlawanan Diponegoro. Jenderal De Kock akhirnya menggunakan siasat tipu muslihat melalui perundingan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro bersedia hadir untuk berunding di rumah Residen Kedu di Magelang. Dalam perundingan tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap dan ditawan di Semarang dan dipindah ke Batavia. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1830 dipindah lagi ke Manado. Pada tahun 1834 pengasingannya dipindah lagi ke Makassar sampai meninggal dunia pada usia 70 tahun tepatnya tanggal 8 Januari 1855.

5.       Perang Bali (1844)
Pada tahun 1844, sebuah kapal dagang Belanda kandas di daerah Prancak (daerah Jembara), yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Buleleng. Kerajaan-kerajaan di Bali termasuk Buleleng pada saat itu memberlakukan hak tawan karang. Dengan demikian, kapal dagang Belanda tersebut menjadi hak Kerajaan Buleleng. Pemerintah kolonial Belanda memprotes Raja Buleleng yang dianggap merampas kapal Belanda, namun tidak dihiraukan. Insiden  inilahyang memicu pecahnya Perang Bali, atau dikenal juga dengan nama Perang Jagaraga.
Belanda melakukan penyerangan terhadap Pulau Bali pada tahun 1846. Yang menjadi sasaran pertama dan utama adalah Kerajaan Buleleng. Patih I Gusti Ktut Jelantik beserta pasukan menghadapi serbuan Belanda dengan gigih. Pertempuran yang begitu heroik terjadi di Jagaraga yang merupakan salah satu benteng pertahanan Bali. Belanda melakukan serangan mendadak terhadap pasukan Bali di benteng Jagaraga. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Bali tidak dapat menghalau pasukan musuh. Akhirnya pasukan I Gusti Ktut Jelantik terdesak dan mengundurkan diri ke daerah luar benteng Jagaraga.
Waktu benteng Jagaraga jatuh ke pihak Belanda, pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal MayorA.V. Michiels dan sebagai wakilnya adalah van Swieten. Raja Buleleng dan patih dapat meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda menuju Karangasem. Setelah Buleleng secara keseluruhan dapat dikuasai, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Bali. Ternyata perlawanan sengit dari rakyat setempat membuat pihak Belanda cukup kewalahan. Perang puputan pecah di mana-mana, seperti Perang Puputan Kusamba (1849), Perang Puputan Badung (1906), dan Perang Puputan Klungkung (1908).

6.       Perang Banjar (1859 – 1905)
Campur tangan pemerintah Belanda dalam urusan pergantian kekuasaan di Banjar merupakan biang perpecahan. Sewaktu Sultan Adam Al Wasikbillah menduduki tahta kerajaan Banjar (1825 – 1857), putra mahkota yang bernama Sultan Muda Abdurrakhman meninggal dunia. Dengan demikian calon berikutnya adalah putra Sultan Muda Abdurrakhman atau cucu Sultan Adam. Yang menjadi masalah adalah cucu Sultan Adam dari putra mahkota ada dua orang, yaitu Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Tamjid.
Sultan Adam cenderung untuk memilih Pangeran Hidayatullah. Alasannya memiliki perangai yang baik, taat beragama, luas pengetahuan, dan disukai rakyat. Sebaliknya Pangeran Tamjid kelakuannya kurang terpuji, kurang taat beragama dan bergaya hidup kebarat-baratan meniru orang Belanda. Pangeran Tamjid inilah yang dekat dengan Belanda dan dijagokan oleh Belanda. Belanda menekan Sultan Adam dan mengancam supaya mengangkat Pangeran Tamjid.
Di mana-mana timbul suara ketidakpuasan masyarakat terhadap Sultan Tamjidillah II (gelar Sultan Tamjid setelah naik tahta) dan kebencian rakyat terhadap Belanda. Kebencian rakyat lama-lama berubah menjadi bentuk perlawanan yang terjadi di mana-mana. Perlawanan tersebut dipimpin oleh seorang figur yang didambakan rakyat, yaitu Pangeran Antasari.     
Pangeran Hidayatullah secara terang-terangan menyatakan memihak kepada Pangeran Antasari. Bentuk perlawanan rakyat terhadap Belanda mulai berkobar sekitar tahun 1859. Pangeran Antasari juga diperkuat oleh Kyai Demang Lehman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, dan Kyai Langlang. Penyerangan diarahkan pada pospos tentara milik Belanda dan pos-pos missi Nasrani. Benteng Belanda di Tabania berhasil direbut dan dikuasai. Tidak lama kemudian datang bantuan tentara Belanda dari Jawa yang dipimpin oleh Verspick, berhasil membalik keadaan setelah terjadi pertempuran sengit.
Akibat musuh terlalu kuat, beberapa orang pemimpin perlawanan ditangkap. Pangeran Hidayatullah ditawan oleh Belanda pada tanggal 3 Maret 1862, dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari wafat. Sepeninggal Pangeran Antasari, para pemimpin rakyat mufakat sebagai penggantinya adalah Gusti Mohammad Seman, putra Pangeran Antasari.

7.       Perang Aceh (1873 – 1904)
Penandatanganan Traktat Sumatra antara Inggris dan Belanda pada tahun 1871 membuka kesempatan kepada Belanda untuk mulai melakukan intervensi ke Kerajaan Aceh. Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh karena Kerajaan Aceh menolak dengan keras untuk mengakui kedaulatan Belanda.
Kontak pertama terjadi antara pasukan Aceh dengan sebagian tentara Belanda yang mulai mendarat. Pertempuran itu memaksa pasukan Aceh mengundurkan diri ke kawasan Masjid Raya. Pasukan Aceh tidak semata-mata mundur tapi juga sempat memberi perlawanan sehingga Mayor Jenderal Kohler sendiri tewas. Dengan demikian, Masjid Raya dapat direbut kembali oleh pasukan Aceh.Daerah-daerah di kawasan Aceh bangkit melakukan perlawanan. Para pemimpin Aceh yang diperhitungkan Belanda adalah Cut Nya’Din, Teuku Umar, Tengku Cik Di Tiro, Teuku Ci’ Bugas, Habib Abdurrahman, dan Cut Mutia.          
Belanda mencoba menerapkan siasat konsentrasi stelsel yaitu sistem garis pemusatan di mana Belanda memusatkan pasukannya di benteng-benteng sekitar kota termasuk Kutaraja. Belanda tidak melakukan serangan ke daerah-daerah tetapi cukup mempertahankan kota dan pos-pos sekitarnya. Namun, siasat ini tetap tidak berhasil mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan Belanda berpikir keras untuk menemukan siasat baru. Untuk itu, Belanda memerintahkan Dr. Snouck Hurgronje yang paham tentang agama Islam untuk mengadakan penelitian tentang kehidupan masyarakat Aceh. Dr. Snouck Hurgronje memberi saran dan masukan kepada pemerintah Hindia Belanda mengenai hasil penyelidikannya terhadap masyarakat Aceh yang ditulis dengan judul De Atjehers. Berdasarkan kesimpulan Dr. Snouck Hurgronje pemerintah Hindia Belanda memperoleh petunjuk bahwa untuk menaklukkan Aceh harus dengan siasat kekerasan.
Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan dengan mengadakan serangan besar-besaran ke daerah-daerah pedalaman. Serangan-serangan tersebut dipimpin oleh van Heutz. Tanpa mengenal perikemanusiaan, pasukan Belanda membinasakan semua penduduk daerah yang menjadi targetnya. Satu per satu pemimpin para pemimpin perlawanan rakyat Aceh menyerah dan terbunuh. Dalam pertempuran yang terjadi di Meulaboh, Teuku Umar gugur.
Jatuhnya Benteng Kuto Reh pada tahun 1904, memaksa Aceh harus menandatangani Plakat pendek atau Perjanjian Singkat (Korte Verklaring). Biar pun secara resmi pemerintah Hindia Belanda menyatakan Perang Aceh berakhir pada tahun 1904, dalam kenyataannya tidak. Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung sampai tahun 1912. Bahkan di beberapa daerah tertentu di Aceh masih muncul perlawanan sampai menjelang Perang Dunia II tahun 1939.

8.       Perang Tapanuli (1878 – 1907)
Pada tahun 1878 Belanda mulai dengan gerakan militernya menyerang daerah Tapanuli, sehingga meletus Perang Tapanuli dari tahun 1878 sampai tahun 1907. Berikut ini sebab-sebab terjadinya Perang Batak atau Perang Tapanuli.
1)    Raja Si Singamangaraja XII menentang dan menolak daerah kekuasaannya di Tapanuli Selatan dikuasai Belanda.
2)    Belanda ingin mewujudkan Pax Netherlandica (menguasai seluruh Hindia Belanda).
Pada masa pemerintahan Si Singamangaraja XII, kekuasaan kolonial Belanda mulai memasuki daerah Tapanuli. Belanda ingin mewujudkan Pax Netherlandica yang dilakukan dengan berlindung di balik kegiatan zending yang mengembangkan agama Kristen. Belanda menempatkan pasukannya di Tarutung dengan dalih melindungi penyebar agama Kristen. Si Singamangaraja XII tidak menentang usaha-usaha mengembangkan agama Kristen tetapi ia tidak bisa menerima tertanamnya kekuasaan Belanda di wilayah kekuasaannya.
Menghadapi perluasan wilayah pendudukan yang dilakukan oleh Belanda, pada bulan Februari 1878 Si Singamangaraja XII melancarkan serangan terhadap pos pasukan Belanda di BahalBatu, dekat Tarutung (Tapanuli Utara). Pertempuran merebak sampai ke daerah Buntur, Bahal Batu, Balige, Si Borang-Borang, dan Lumban Julu. Dengan gigih rakyat setempat berjuang saling bahu membahu berlangsung sampai sekitar 7 tahun. Tetapi, karena kekurangan senjata pasukan Si Singamangaraja XII semakin lama semakin terdesak. Bahkan terpaksa ditinggalkan dan perjuangan dilanjutkan ke tempat lain.
Dalam keadaan yang lemah, Si Singamangaraja XII bersama putra-putra dan pengikutnya mengadakan perlawanan. Dalam perlawanan ini, Si Singamangaraja, dan seorang putrinya, Lapian serta dua putranya, Sultan Nagari dan Patuan Anggi, gugur. Dengan gugurnya Si Singamangaraja XII, maka seluruh daerah Batak jatuh ke tangan Belanda.

9.       Perlawanan Rakyat
Menjelang tahun 1900, golongan feodal yaitu raja dan bangsawan sudah tidak berdaya lagi atas daerahnya. Sepenuhnyadikuasai dan tunduk kepada pemerintah Belanda. Walaupun demikian, tiap-tiap daerah selalu terjadi huru-hara. Perlawanan rakyat bersifat lokal.
Perlawanan rakyat ini pada umumnya bertujuan untuk menentang pemungutan pajak yang berat serta menentang bentuk penindasan lainnya. Sebagai contoh adalah peristiwa pemberontakan Petani Banten yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888 atau dikenal juga dengan Perang Wasid. Sebab meletusnya pemberontakan adalah penolakan terhadap segala macam modernisasi, system birokrasi, keuangan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain yang dianggap menyalahi tradisi. Telah berkali-kali rakyat melakukan protes terhadap penarikan pajak terutama pajak kepala dan pajak pasar.
Peristiwa senada yang mengawali sebelum pecah peristiwa Cilegon 1888 adalah Peristiwa Ciomas yang terjadi tahun 1886. Sebab utamanya adalah pemerasan dari tuan tanah terhadap tenaga para petani. Mereka tidak hanya wajib menanam kopi tetapi juga mengerjakan bermacam-macam pelayanan. Hal ini membuat munculnya gejolak sebagai wujud protes terhadap kesewenang-wenangan tuan tanah.
Kasus lain terjadi di Gedangan pada tahun 1904. Ini merupakan contoh konflik antara petani pemilik dan penggarap sawah dengan pengusaha perkebunan tebu. Untuk keperluan penanaman tebu, padi yang tumbuh dengan suburnya diperintahkan untuk dicabut. Perubahan status tanah yang mengancam sumber penghidupan, membangkitkan kemarahan para petani.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 Galaxy Andromeda - Shingeki No Kyojin - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -